Cyberlaw adalah hukum yang digunakan di dunia cyber (dunia maya) yang umumnya diasosiasikan dengan internet. Cyberlaw merupakan aspek hukum yang ruang lingkupnya meliputi setiap aspek yang berhubungan dengan orang perorangan atau subyek hukum yang menggunakan dan memanfaatkan teknologi internet yang dimulai pada saat mulai online dan memasuki dunia cyber atau maya. Cyberlaw sendiri merupakan istilah yang berasal dari Cyberspace Law. Cyberlaw akan memainkan peranannya dalam dunia masa depan, karena nyaris tidak ada lagi segi kehidupan yang tidak tersentuh oleh keajaiban teknologi dewasa ini dimana kita perlu sebuah perangkat aturan main didalamnya (virtual world).
CyberLaw (Undang – undang khusus dunia Cyber/Internet). Selama ini landasan hukum CyberCrime yang di Indonesia menggunakan KUHP (pasal 362) dan ancaman hukumannya dikategorikan sebagai kejahatan ringan, padahal dampak yang ditimbulkan bisa berakibat sangat fatal. Indonesia dibandingkan dengan USA, Singapura, bahkan Malaysia memang cukup ketinggalan dalam masalah CyberLaw ini. Contohnya Singapura telah memiliki The Electronic Act 1998 (UU tentang transaksi secara elektronik), serta Electronic Communication Privacy Act (ECPA), kemudian AS mempunyai Communication Assistance For Law Enforcement Act dan Telecommunication Service 1996.
Faktor lain yang menyebabkan ketertinggalan Indonesia dalam menerapkan CyberLaw ini adalah adanya ke-strikean sikap pemerintah terhadap media massa yang ternyata cukup membawa pengaruh bagi perkembangan CyberLaw di Indonesia. Sikap pemerintah yang memandang minor terhadap perkembangan internal saat ini, telah cukup memberikan dampak negatif terhadap berlakunya CyberLaw di Indonesia. Kita lihat saja saat ini, apabila pemerintah menemukan CyberCrime di Indonesia, maka mereka “terpaksa” mengkaitkan CyberCrime tersebut dengan hukum yang ada, sebut saja KUHP, yang ternyata bukanlah hukum yang pantas untuk sebuah kejahatan yang dilakukan di CyberSpace. Akhirnya pemerintah, dalam hal ini POLRI, sampai saat ini ujung – ujungnya lari ke CyberLaw Internasional yang notabene berasal dari AS.
Faktor lain yang menyebabkan ketertinggalan Indonesia dalam menerapkan CyberLaw ini adalah adanya ke-strikean sikap pemerintah terhadap media massa yang ternyata cukup membawa pengaruh bagi perkembangan CyberLaw di Indonesia. Sikap pemerintah yang memandang minor terhadap perkembangan internal saat ini, telah cukup memberikan dampak negatif terhadap berlakunya CyberLaw di Indonesia. Kita lihat saja saat ini, apabila pemerintah menemukan CyberCrime di Indonesia, maka mereka “terpaksa” mengkaitkan CyberCrime tersebut dengan hukum yang ada, sebut saja KUHP, yang ternyata bukanlah hukum yang pantas untuk sebuah kejahatan yang dilakukan di CyberSpace. Akhirnya pemerintah, dalam hal ini POLRI, sampai saat ini ujung – ujungnya lari ke CyberLaw Internasional yang notabene berasal dari AS.
Berdasarkan
sikap pemerintah diatas, menurut RM. Roy Suryo, pada waktu dulu selalu saja
menganaktirikan Informasi yang berasal dari Internet. Bagi pemerintah, internet
tersebut lebih banyak memberikan mudharat dari pada manfaatnya. Sehingga, image
internet itu sendiri di masyarakat lebih terasosi sebagai media pornografi.
Padahal di negara – negara maju, sebut saja USA, Singapura, dan Malaysia, mereka
telah dapat memposisikan internet sebagai salah satu pilar demokrasi di
negaranya, bahkan untuk Malaysia dan Singapura, mereka benar – benar
memanfaatkan internet sebagai konsep Visi Infrastruktur Teknologi mereka.
Meskipun demikian, Indonesia ternyata juga memiliki konsep yang serupa dengan
hal yang disebut diatas, yaitu Nusantara 21, akan tetapi muncul kerancuan dan
kebingungan masyarakat terhadap kontradiksi sikap pemerintah tersebut, sehingga
masyarakat menjadi tidak percaya atau ragu – ragu terhadap fasilitas yang
terdapat di internet. Hal ini merupakan faktor tambahan kenapa Indonesia cukup
ketinggalan dalam menerapkan CyberLaw. Adanya masa kekosongan CyberLaw ini di
Indonesia, tentu saja membuat para hacker merasa leluasa untuk bertindak semaunya
di CyberSpace, untuk mengantisipasi tindakan tersebut, saat ini para pakar
teknologi kita seperti RM. Roy Suryo dan Onno W. Purbo bekerja sama dengan
berbagai pihak, baik dari pemerinta maupun swasta, membuat rancangan CyberLaw.
Mengenai rancangan CyberLaw ini, mengingat bahwa karakter CyberSpace selalu
berubah cepat dan bersifat global, sehingga bentuk CyberCrime dimasa depan
sangat sulit diramalkan. RM. Roy Suryo berpendapat sejak dulu bahwa sejak dulu
piranti hukum selalu ketinggalan dengan teknologinya, sehingga dalam CyberLaw
ini nantinya akan terdapat beberapa pasal yang bersifat terbuka, artinya selain
pasal – pasal tersebut bisa diamandemen, juga dpat dianalogikan terhadap hal –
hal yang bersifat global.
Landasan
Hukum CyberCrime di Indonesia, adalah KUHP (pasal 362) dan ancaman hukumannya
dikategorikan sebagai kejahatan ringan, padahal dampak yang ditimbulkan oleh
CyberCrime bisa berakibat sangat fatal. Beberapa indikator penyalahgunaan
sarana dan prasarana di Internet, antara lain :
1.
Menjamurnya warnet hampir setiap propinsi di tanah air yang dapat digunakan
sebagai fasilitas
untuk
melakukan tindak kejahatan CyberCrime, disebabkan tidak tertibnnya sistem
administrasi
dan
penggunaan Internet Protocol/IP Dinamis yang sangat bervariatif.
2. ISP (Internet
Service Provider) yang belum mencabut nomor telepon pemanggil yang meng -
gunakan
Internet.
3. LAN (Local
Area Network) yang mengakses Internet secara bersamaan (sharing),
namun
tidak
mencatat dalam bentuk log file aktifitas dari masing – masing client jaringan.
4. Akses
Internet menggunakan pulsa premium, dimana untuk melakukan akses ke Internet,
tidak
perlu
tercatat sebagai pelanggan sebuah ISP.
Berbicara
mengenai tindak kejahatan (Crime), tidak terlepas dari lima faktor yang
terkait, antara lain karena adanya pelaku kejahatan, modus kejahatan, korban
kejahatan, reaksi sosial atas kejahatan, dan hukum. Berdasarkan beberapa
pustaka, sebagian besar menyebutkan bahwa pelaku CyberCrime adalah para remaja
yang berasal dari keluarga baik – baik, bahkan berotak encer. Hukum positif di
Indonesia masih bersifat “lex loci delicti” yang mencakup wilayah, barang
bukti, tempat atau fisik kejadian, serta tindakan fisik yang terjadi. Padahal
kondisi pelanggaran yang mungkin terjadi di CyberSpace dapat dikatakan sangat
bertentangan dengan hukum positif yang ada tersebut.
Dalam
CyberCrime, pelaku tampaknya memiliki keunikan tersendiri, secara klasik
kejahatan terbagi dua : Blue Collar Crime dan White Collar Crime. Pelaku Blue
Collar Crime biasanya dideskripsikan memiliki stereotip, seperti dari kelas
social bawah, kurang terdidik, berpenghasilan rendah, dsb. Sedangkan White
Collar Crime, para pelaku digambarkan sebaliknya. Mereka memiliki penghasilan
yang tinggi, berpendidikan, dsb. Untuk pelaku CyberCrime, pembagian teoritis
demikian tampaknya kurang mengena lagi. Karena dipacu oleh perkembangan
teknologi yang pesat, telah menghasilkan komunitas yang lebih kompleks. Dampak
dari kehidupan yang semakin kompleks, telah memperlebar celah – celah
kriminalitas, maka Polri harus sedini mungkin berperan secara aktif sebagai
anggota masyarakat global Cyberspace. CyberPolice merupakan polisi yang dilatih
dan ditugaskan untuk menangani kasus – kasus di dalam segala tindakan kriminal
yang dilakukan di dunia maya CyberSpace. Andaikata CyberPolice tidak segera
diwujudkan, maka semua kejahatan yang timbul di dunia CyberSpace tidak dapat
dijangkau oleh Polri. Beberapa kasus penting yang pernah ditangani Polri
dibidang Cyber Crime adalah :
1. Cyber
Smuggling, adalah laporan pengaduan dari US Custom (Pabean AS) adanya tindak pe
-
nyelundupan
via internet yang dilakukan oleh beberapa orang Indonesia, dimana oknum – oknum
tersebut
telah mendapat keuntungan dengan melakukan Webhosting gambar – gambar porno di
beberapa
perusahaan Webhosting yanga ada di Amerika Serikat.
2. Pemalsuan
Kartu Kredit, adalah laporan pengaduan dari warga negara Jepang dan Perancis
tentang
tindak pemalsuan kartu kredit yang mereka miliki untuk keperluan transaksi di
Internet.
3. Hacking
Situs, adalah hacking beberpa situs, termasuk situs POLRI, yang pelakunya di
identifikasikan
ada di wilayah RI.
Sulitnya
menciptakan peraturan – peraturan di CyberSpace, khususnya membuat CyberCrime
Law, adalah disebabkan perubahan – perubahan radikal yang dibawa oleh revolusi
teknologi informasi yang membalikkan paradigma – paradigma. Untuk membuat
ketentuan hukum yang memadai di dunia maya. Tampaknya harus terpaksa rela
menunggu revolusi mulai reda kiranya penting untuk belajar tentang bagaimana
dahulu teknologi – teknologi massal mengawali kematangannya.
Teknologi
informasi dalam beberapa waktu yang akan datang tampaknya akan terus berubah
dengan cepat untuk menuju tingkat kemapanannya sendiri. Selama dalam proses
ini, masyarakat dunia maya sepertinya akan mampu menjadi masyarakat yang dapat
melakukan pengaturan sendiri (self regulation). Kendati demikian,
karena dampak CyberSpace sangat besar bagi kehidupan secara keseluruhan, campur
tangan negara – negara yang sangat diperlukan, khusussnya dalam merancang
CyberCrime Law.
0 komentar:
Posting Komentar